Skip to main content

Menata Sikap



          Louise Evan dalam “Own Your Behaviours, Master Your Communication, Determine Your Success”, TEDxGenova mengatakan bahwa setiap individu memiliki 5 “kursi” sikap yang dapat diambil dalam setiap situasi yang kita lalui.

          Kursi pertama adalah kursi merah, yaitu kursi yang paling sering diambil. Kursi merah adalah “the judging chair” yang akan berujung pada pembenaran diri dimana kita selalu benar sementara orang lain salah. Hal lain yang senang kita lakukan pada kursi merah ialah mengeluh dan gosip.

          Kursi kedua adalah kursi kuning. Kursi kuning adalah “the self-doubt chair”, dimana kita secara semena-mena menilai buruk diri kita sendiri. Mengatakan hal seperti “Ini hal yang sulit, saya tidak sepintar itu. Saya tidak bisa melakukannya dan orang lain juga tidak percaya bahwa saya dapat melakukannya. Hal ini sudah diluar kemampuan saya.” atau “seharusnya saya tidak melakukan hal itu, karena saya mengambil keputusan tersebut, maka sekarang kelompok saya yang akan menanggung akibatnya. Semua hal ini terjadi karena kesalahan saya. Ini merupakan tanggung jawab saya dan saya tidak melakukan tanggung jawab itu dengan baik”. Pada kursi ini kita merasa tidak berguna, takut mengecewakan, takut akan kegagalan, takut “ditolak” dan tidak disenangi oleh orang lain. Pemikira orang yang duduk di kursi kuning penuh dengan hal-hal negatif. Louise juga mengutip sebuah kalimat dari Krishnamurti yang mengatakan : kemampuan terhebat yang bisa kita miliki adalah kemampuan untuk menilai diri kita sendiri tanpa judging ourselves.

          Kursi ketiga adalah kursi hijau. Pada kursi hijau kita berhenti sejenak, melakukan observasi, menarik nafas dalam, kita berada dalam keadaan fokus atau “sadar penuh” (mindful; conscious). Kursi hijau adalah kursi “menunggu”, “the wait chair”. Pada kursi ini kita memiliki pilihan untuk mengambil kursi merah atau kursi biru. Kursi hijau adalah “pit-stop and continue”, kita beristirahat sejenak, berfikir dan merasakan, lalu memutuskan dan melanjutkan perjalanan apakah kita mau bersikap “marah” atau “mawas diri”.

          Kursi keempat adalah kursi biru, “the detect chair”. Pada kursi ini Kita melakukan deteksi diri, kita menjadi seseorang yang “mawas diri”. Kita mengetahui diri kita sendiri, mengetahui kekurangan dan kelebihan kita, mengenali bagaimana diri kita bersikap dalam situasi-situasi tertentu. Kita tahu yang kita bicarakan dan tidak takut untuk mengatakan hal yang menurut kita benar. Kita menjadi asertif, bukan agresif. Louise mengutip kalimat Aristotle yaitu : mengenal dirimu sendiri merupakan sebuah permulaan dari kebijaksanaan.

          Kursi kelima adalah kursi ungu, “the connect chair”. Ketika kita berada di kursi ini, kita menjadi orang yang penuh perhatian, ber-empati, peduli. Fokus kita pada kursi ini adalah lawan bicara kita, hal apa yang terpenting bagi mereka? Bila kita melakukan hal itu, kita akan belajar untuk memahami perspektif mereka dan mengayomi perbedaan.

          Jadi, kursi mana yang akan kamu pilih?

           Topik yang diangkat oleh Louise Evans ini dapat ditonton secara lengkap pada : https://www.youtube.com/watch?v=4BZuWrdC-9Q 


        (photo courtesy of google.com)

Comments

Popular posts from this blog

A Letter to My Baby

I want you to see, baby. I want you to see that we’re just a human as much as anybody. That Mama sometimes cry and a little sappy, that she might even cry when she’s angry. Your Papa is generally funny but  he might be quiet when he’s worry. We love hard & play hard but of course we still fight, we talk good and do good but mistakes will still be made. I want you to know that it is okay to be mad when you’re angry; to be sad when you’re lonely, to be jelly, to feel icky and to  experience any emotions other  than feeling happy. Sometimes people still smile even when they do not feel so smiley. It’s the thing people do for many reasons, really. They are just complex with all of their story. And we human often are difficult with feelings, but it is always good to let things out than to bottled it up. Because the explosion might not be pretty. So please just be kind to everyone, baby. Because we all deserve of being loved just as much as everybody. The messiness, the cra...

The soft orange wall

There’s a nice glow from the room outside. It was warm, inviting, pretty. Ever so beautiful like we live in the golden hour, all time glow. I hope the new room will bring new adventure to baby. With its soft orange colored wall,  surrounded with toys that he likes and people that he loves. I hope he’ll grow as warm as his new wall.  Bold but not too bold; brave but not too brave, only enough. Enough to make people sit & feel comfortable with him and his presence.  The wall is cautious, warm & beautiful. An instant homely feelings will be felt when you take your first step into the room.  I hope, oh I hope that room will always remind him of home. I hope it will always remind him of us.  Ananda Khaira Azizah, Pekanbaru, 27 Maret 2025. Hari Kamis, pukul 10 pagi.

The Family Who Read

         I was raised in a family who appreciate reading. It’s all started way back when we were young. We grew up reading comic books, our parents often gave us books as our “naik kelas”’s gifts. So we ended up looking forward to books. I remember the feeling when we were anxiously waiting for our packs of books to open, couldn’t wait to read it as we already waiting for it for a long time. And as a continuation of that, by the time we were a teenager, we expand our liking to novels, and our house filled with fantasy books such as “Eragon”, “The Bartimaeus Trilogy” by Jonathan Stroud, books written by Cornelia Funke, “Maximum Ride” by James Patterson and the likes which supplied by our mother. So myself in particular found solace and curiousity in fantasy books.           So then we developed our love for books. Growing up, each of us found our own genre, as my brother likes “Haruki Murakami”, me and my father...