Skip to main content

Menjadi Perempuan yang Anti-Mainstream




Mainstream :
          “Lifestyle atau benda yang lalu dijadiin kebiasaan yang sangat umum dilakukan oleh semua orang.”

          Mainstream-ity menjadi hal yang sangat lumrah pada masa dewasa ini. Semua orang secara buta mengikuti trend baik dalam aspek fesyen, pola pikir, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Terkadang mainstream mungkin dapat diartikan sebagai “fluid’’ atau “piawai” membawa diri, dimana hal tersebut memang dibutuhkan dalam beberapa situasi. Namun hal itu tidak selalu “dibutuhkan” dalam segala situasi, karena ketergantungan yang berlebihan terhadap opini kelompok akan berdampak negatif terhadap pola pikir, yaitu pola pikir yang tidak mandiri. Hal itu akan memberikan dampak buruk yang sangat besar terhadap kehidupan ke depannya. Pola pikir yang tidak mandiri akan menghasilkan mentalitas “pengikut”, yang terkadang mengikuti apapun secara “buta”, menyebarkan berita hoax yang tidak diketahui kebenarannya, bahkan hingga berkoar-koar mengenai hal yang tidak ada artinya.

          Baru-baru ini saya mendapatkan kesempatan untuk pulang dan bertemu dengan adik-adik yang sudah lama tidak saya temui, dan saya bersyukur Tuhan memberikan saya kesempatan untuk bertukar fikiran dan berbagi cerita dengan mereka.

          Sebuah kendala terjadi kemarin saat saya sedang berada disana. Paman saya berkesempatan untuk memimpin sebuah diskusi. Hal yang terjadi adalah sekelompok orang dewasa berkumpul, bermufakat dan menyetujui suatu hal dengan suara yang sudah bulat. Mereka sudah “ketok palu”, istilahnya, dimana suatu keputusan diambil atas keputusan bersama dan tidak ada yang merasa dirugikan karenanya. Pertemuan tersebut berjalan dengan lancar.

          Namun siapa sangka ternyata masih ada yang “berbisik-bisik” dan tidak berani menyampaikan pendapatnya sehingga hanya berani berbicara di belakang, bahkan hingga provokasi teman-teman yang lain untuk boikot kesepakatan yang sudah disetujui bersama tersebut dan keluar dari grup diskusi.  

          Hal yang saya kagumi dari paman saya saat itu adalah bagaimana ia menanggapi hal tersebut. Beliau tetap tenang, menganalisa keadaan yang terjadi dengan cermat, berpikir secara pelan namun pasti dan menyikapi situasi “ajaib” tersebut dengan sangat bagus. Sangat smooth dalam membungkam bisik-bisik “usil” yang terjadi. Sangat dewasa. Well, terkadang usia sama sekali tidak menentukan tingkat kedewasaan.

          Maka saya berkata kepada adik saya : Kamu harus berani menjadi wanita yang anti-mainstream. Jadilah seperti Ayahmu yang berkepala dingin, karena bila kamu menjadi wanita yang mainstream, kamu akan menjadi seperti teman-teman Ayahmu. kamu tidak berani menyampaikan pendapatmu sendiri sehingga mencari dukungan dari luar dirimu (dalam hal ini adalah teman-teman), dan seperti yang sudah kamu tahu, semakin banyak kepala yang terlibat, semakin ruwet hal yang akan terjadi. Kamu harus berani untuk mundur, cermati situasi tersebut dengan kepala dingin dan ambil keputusan dengan baik. Tentu dengan telah mempertimbangkan pro dan kontra dari segala situasi. Kamu beruntung telah mendapatkan kedua contoh dan terlibat didalamnya sehingga kamu dapat belajar secara langsung mengenai hal tersebut.

          Belajar dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, tidak hanya terbatas dari sekolah saja. Keluarga, teman, guru, film, buku, bahkan video. Sangat banyak media pembelajaran yang tersedia, kita hanya perlu membuka mata, membuka hati dan memiliki kemauan.

          Selamat mencari!   
         




(photo courtesy of Power of Positivity on facebook)

Comments

  1. Mantap dear kakak..jangan takut berbeda meski orang kebanyakan seperti itu. Yang penting bukan asal berbeda , perbedaan kita tetap mengacu pada norma agama dan budaya setempat. Hal2 yang prinsip (kalau dalam agama dogma) harus kita pegang, implementasi diserahkan ke masing2 sesuai kondisinya. Tetap semangat ya naak.
    Selalu menanti tulisan kakak terutama bahasa ingris hi hi nenek belajar

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe siap Nenekk, terimakasih untuk dukungan dan doa-doa Nenek untuk Kakakk. Semoga Nenek sehat selalu 🙏❤😊

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

A Letter to My Baby

I want you to see, baby. I want you to see that we’re just a human as much as anybody. That Mama sometimes cry and a little sappy, that she might even cry when she’s angry. Your Papa is generally funny but  he might be quiet when he’s worry. We love hard & play hard but of course we still fight, we talk good and do good but mistakes will still be made. I want you to know that it is okay to be mad when you’re angry; to be sad when you’re lonely, to be jelly, to feel icky and to  experience any emotions other  than feeling happy. Sometimes people still smile even when they do not feel so smiley. It’s the thing people do for many reasons, really. They are just complex with all of their story. And we human often are difficult with feelings, but it is always good to let things out than to bottled it up. Because the explosion might not be pretty. So please just be kind to everyone, baby. Because we all deserve of being loved just as much as everybody. The messiness, the cra...

The soft orange wall

There’s a nice glow from the room outside. It was warm, inviting, pretty. Ever so beautiful like we live in the golden hour, all time glow. I hope the new room will bring new adventure to baby. With its soft orange colored wall,  surrounded with toys that he likes and people that he loves. I hope he’ll grow as warm as his new wall.  Bold but not too bold; brave but not too brave, only enough. Enough to make people sit & feel comfortable with him and his presence.  The wall is cautious, warm & beautiful. An instant homely feelings will be felt when you take your first step into the room.  I hope, oh I hope that room will always remind him of home. I hope it will always remind him of us.  Ananda Khaira Azizah, Pekanbaru, 27 Maret 2025. Hari Kamis, pukul 10 pagi.

The Family Who Read

         I was raised in a family who appreciate reading. It’s all started way back when we were young. We grew up reading comic books, our parents often gave us books as our “naik kelas”’s gifts. So we ended up looking forward to books. I remember the feeling when we were anxiously waiting for our packs of books to open, couldn’t wait to read it as we already waiting for it for a long time. And as a continuation of that, by the time we were a teenager, we expand our liking to novels, and our house filled with fantasy books such as “Eragon”, “The Bartimaeus Trilogy” by Jonathan Stroud, books written by Cornelia Funke, “Maximum Ride” by James Patterson and the likes which supplied by our mother. So myself in particular found solace and curiousity in fantasy books.           So then we developed our love for books. Growing up, each of us found our own genre, as my brother likes “Haruki Murakami”, me and my father...